Sahabat adalah seseorang yang
kita butuhkan, tapi jika hati telah terjebak dalam indahnya sebuah harapan.
Kita tak akan bisa mengelak. Sahabat haruslah tetap menjadi sahabat. Bukan
menjadi cinta sebuah harapan tuk memilikinya. Dari semua itulah aku tersadar.
Sahabatku bukan untuk cintaku.
Semua berawal dari siang itu.
Tin… tin..
Suara klakson sebuah mobil
membuyarkan lamunanku. Pelan-pelan kubalikkan badanku melihat keluar jendela
kamar.
“Siapa yang datang?” tanyaku
dalam hati.
Aku berjalan lunglai menuju
pintu. Tubuhku terasa lemah tak berdaya. Kubuka dengan pelan, kulihat siapa
orang yang berdiri di depan pintu.
“Rendy?”
Bruk… aku terjatuh. Semua terasa
gelap. Entah berapa lama aku merasakan kegelapan yang tak tau kapan ku raih
cahaya. Tubuhku terasa melayang, Ku dengar bisikan lembut, suara yang ku rindu.
“Marsya…!” panggil suara itu.
“Sya, aku kangen kamu, kamu cepat bangun, aku ingin kamu buka
mata kamu.” Suara lembut itu terdengar indah.
Ku buka mata ini perlahan,
kulihat cahaya terang, ruangan putih bercampur biru langit, warna yang ku suka.
Ku palingkan wajahku. Ku temukan sesosok tubuh, orang yang selama ini ku
rindukan. Tak terasa senyumku langsung mengembang. Tapi, air mata mengalir di
pipiku.
“Sya! Kenapa kamu nangis? Kamu
gak apa-apakan? Sya, kamu masih ingat aku kan?”
Ya,
tentu aku masih ingat kamu, orang yang ku sayangi. Tapi bibir ini tak sanggup
mengatakan apa-apa. Kepalaku terasa pusing, aku ingin berdiri, tapi sepasang
tangan menghadangku. Ku lihat seisi ruangan, mama, ayah, kak Farid, dan Rendy.
Saat itulah aku menyadari, aku berada di rumah sakit.
“Ya
Tuhan… aku kenapa? Kenapa aku di sini?” tanyaku dalam hati.
“Sya
sayang, kamu udah gak apa-apakan? Kamu masih pusing?” tanya mama setelah aku
sadar sepenuhnya.
“Nggak
apa-apa ma, Marsya kenapa?” aku balik bertanya.
“Kamu
cuma kecapekan aja kok, dan kamu kena magg. Makanya kamu tu jangan mikirin aku
terus.” Jawab Rendy sambil bercanda.
“Kamu
ya nggak berubah! Tetep aja suka ngeledekin aku.”
Senyum ku mengembang.Aku memang gak
memungkiri, aku memang mikirin Rendy. Ingin rasanya aku memeluk dan berteriak…
“AKU KANGEN KAMU REN…” tapi itu gak mungkin. Karena aku harus menyadari Rendy
sahabatku. Sahabat yang ku cinta.
“Sya!
Kok ngelamun sih? Tu kan bener, kamu emang mikirin aku kan? Jujur deh!”
canda Rendy padaku.
Aku
hanya bisa tersenyum meng-iyakan.
Aku
senang aku bisa bertemu lagi dengan Rendy, dulu aku sempat berpikir kalau Rendy
akan lupa dengan aku. Tapi, dia memang sahabatku. Aku kangen banget dengan dia,
kangen bukan sebagai seorang sahabat. Tapi rasa kangen itu harus aku tutupi,
karena aku tahu, dia kangen aku hanya sebagai seorang sahabat.
Keesokan
harinya aku sudah pulang dari rumah sakit. Aku senang karena aku bisa
beraktivitas lagi seperti biasa. Tapi, aku bisa merasa kesedihan lagi.
“Kamu
mau pergi lagi Ren? Kamu tega banget sama aku. Aku baru keluar dari rumah
sakit, aku seneng tahu kalau kamu datang. Tapi sekarang kamu mau ninggalin aku
lagi?” tangisku tak dapat aku bendung lagi.
“Sya, maafin aku, aku tau kamu
ingin kita kayak dulu lagi, aku juga ingin Sya. Tapi aku harus pergi. Maafin
aku!” Rendy menghamburkan tubuhnya memelukku.
Tangisku
tak lagi dapat ku bendung. Aku mendorong Rendy hingga jatuh. Aku langsung
berlari menuju kamarku. Ku kunci. Ku dekap bantal, aku hanya bisa menangis.
Tok..tok…
“Sya,
maafin aku!” teriak Rendy dari luar kamar.
“Lebih
baik kamu pergi sekarang Ren, aku gak mau kamu ada di sini, kamu pergi aja, dan
jangan pernah kembali!” jawabku dengan tegas.
“Sya!”
jawab Rendy lembut.
“Aku
tahu aku salah. Tapi kalau itu udah keputusan kamu, aku pergi. Apa sampai di
sini aja persahabatan kita? Kalau kamu anggap gitu, gak apa-apa Sya. Tapi kamu
tetap sahabatku.”
Hati
aku pedih mendengarnya bersama langkah kaki Rendy yang sayup-sayup semakin
hilang.
Aku
kembali murung disetiap hariku. Tapi aku tetap harus menjadi Marsya yang
semangat. Aku sudah mulai kembali kuliah hari ini. Kali ini aku terlambat lagi.
“Duh,
aku telat lagi. Mana ini pelajaran bu Martha, tu dosen kan garang banget”
pikiran ku berkelebatan.
“Stop!”
tiba-tiba suara seseorang mengagetkanku.
“Eh.
Ibu maaf!” jawabku sambil cengar-cengir.
“Marsya,
sekarang kamu persentasekan KI kamu!”
Door..door.. aku terkejut, duh
hukumannya bikin aku kaget.
“Duh,
KI? Aku kan belum ngerjain. Ini gara-gara Rendy ngapain sih dia pake acara
bikin aku BeTe? Pake alasan apa nih?” pikirku bekerja.
“Baik
bu, saya cari dulu di tas.” Jawabku asal-asalan.
Aku pura-pura mengacak-acak tasku di depan bu
Martha. Dan….
“Woow!
Ini apa!” aku berbicara sendiri.
Ku
buka kertas-kertas jilid yang ku temukan itu. Dan ternyata itu adalah tugas
yang di berikan bu Martha.
“Ah,
siapa yang dengan baik ngerjain tugasku?”
Aku
tak mau mempermasalahkannya. Toh aku selamat.
“Makasih
Tuhan” ucap ku dalam hati.
Aku
mempersentasekan KI yang tentu bukan buatanku. Dan syukurnya lagi aku dapat
nilai terbaik. Tapi aku harus mencari siapa yang mengerjakan tugas itu.
Ketika ku angkat tasku, selembar
kertas jatuh. Ku baca
To Marsya,
Sya, gimana tugasnya? Sukseskah?
Sekarang kamu pasti bingungkan dengan siapa yang menulis tugas itu. Jika kamu
ingin tau, temui aku di taman kota jam 10.45 WIB. Jika kamu terlambat, kamu
nggak akan ketemu aku lagi, walau kamu mencariku sampai kapanpun. Ku tunggu
kamu.
Disya
“Uh, Disya? Siapa dia sombong
amat. Tapi kalau di lihat kayaknya dia baik deh, dia cewek atau cowok ya? Ah,
gak penting. Yang jelas kalau dia cewek, aku Cuma mau bilang ‘makasih’ aja.
Tapi kalau dia cowok, aku ajak kenalan aja. Siapa tau bisa gantiin Rendy
nyebelin itu.” Pikirku nakal.
Aku
berjalan meninggalkan kampus menuju taman kota, diperjalanan aku membeli
minuman karena aku sangat haus. Ku lihat jam di tanganku. Jam 10.15. aku
berpikir sejenak.
“Dari
sini ke taman tiga puluh menit cukup gak ya?” tanyaku dalam hati.
Aku
melanjutkan jalan sepeda motorku sambil mendengarkan musik, saat terdengar lagu
tentang sahabat, aku langsung teringat Rendy. Uh… kalau mengingat anak itu, aku
merasa sedih, ingin marah, tapi apa yang bisa aku lakukan. Rendy udah
meninggalkan aku ke London.
Lima
belas menit aku udah sampai di taman kota, ku lihat lagi jam tanganku. Jam
10.30.
“Aku
kecepatan!” pikirku suntuk.
“Kok
aku jadi gini sih, kenapa juga aku harus menemui orang ini, siapa sih dia,
kalau bukan karena aku ingin ucapin terima kasih, aku gak mau datang ke sini.”
Gerutuku sengit.
Waktu
terasa amat lambat, matahari sangat terik, saat aku berniat membeli es krim,
aku terkejut karena pundakku di pukul seseorang. Dengan sigap aku memelintir
tangan itu.
“Augh…”
Orang
itu merasa kesakitan. Aku seperti mengenal suara itu, aku membalikkan tubuhku.
“Rendy!”
teriakku.
Aku
begitu terkejut. Kenapa Rendy ada di sini. Aku menyadari ternyata dialah yang
udang ngerjain tugas dari bu Martha. Tapi aku masih marah dengannya, aku ingin
menamparnya lalu lari. Tapi, Rendy menepis tanganku.
“Sya,
kasar banget sih? Apa kamu masih marah ma aku? Aku minta maaf. Kamu masih mau
kan jadi sahabatku? Itu tugas buatanku, dan disya adalah Rendy dan Marsya”
Aku
hanya diam.
“Aku
udah maafin kamu Ren, tapi kenapa kamu minta aku jadi sahabat kamu? Apa kamu
belum ngerti? Aku sayang kamu Ren, aku ingin kamu minta aku jadi pacar kamu,
bukan sahabat kamu.” Jelasku dalam hati.
“Eh..
Sya, kok malah ngelamun sih? Kamu mau kan maafin aku dan jadi sahabatku lagi?”
Rendy mengagetkanku.
Aku
menghela nafas panjang.
“Oke, aku maafin kamu, tapi janji, jangan
ninggalin aku lagi.” Aku mencoba untuk tersenyum.
“Makasih
ya Sya, kamu memang sahabatku.”
“Ya..
ya.. ya! Kamu baru sadar ya kamu punya sahabat baik kayak aku. Tapi kenapa kamu
ninggalin aku? Kamu jahat ya!” aku memarahi Rendy.
“Ya
maaf Sya, aku janji aku gak akan ninggalin kamu lagi. Dan aku punya kejutan
buat kamu.” Jelas Rendy.
“Aku
gak terkejut tuh.” Jawabku ketus.
“Ih,
jadi cewek jutek amat sih kamu. Aku yakin kali ini kamu pasti terkejut. Dulu
aku emang selalu gak bisa ngejutin kamu. tapi untuk kali ini. Emh.. kamu pasti
kalah.” Ledek Rendy.
“Coba
aja kalau kamu bisa.” Tantangku.
“Aku
mulai hari ini gak akan ninggalin kamu karena aku akan pindah ke sini. Satu
universitas dan satu jurusan dengan kamu.”
“Apa?
Pindah?” aku terkejut.
“Tu
kan kamu terkejut. Iya Sya aku gak mau kehilangan sahabat aku.” Jelas Rendy
lagi.
Awalnya
aku senang karena Rendy akan ada di dekat aku lagi. Tapi, aku harus sedih lagi,
karena Rendy pulang bukan untukku. Tapi untuk sahabatnya. Aku sedih, harus
sampai kapan aku berbohong akan perasaanku?
“Sya,
kamu kok diam? Kamu gak seneng? Aku pikir!” Rendy terlihat lemas.
“Ren,
aku seneng kok. Aku Cuma bingung aja ama kamu.” Jelasku.
“Ah,
gak usah kamu pikirin. Mending kita jalan-jalan.”
Kami
menjalani hari-hari seperti dulu lagi. Sampai akhirnya aku menyerah.
“Sya,
kayaknya aku jatuh cinta.” Ucap Rendy.
Aku
kira Rendy udah mulai sayasng sama aku, tapi ternyata.
“Rista
baik banget sama aku, dia perhatian. Menurut kamu aku cocok gak sama dia?”
Rista?
Sejak kapan Rendy dekat sama Rista? Aku patah hati lagi. Aku gak mau Rendy
sedih. Aku dukung dia.
“Dia
baik Ren, aku setuju kamu sama dia. Aku bantuin kamu buat dapatin dia.”
Door…
aku salah kata di depan Rendy, “Aku bantuin dia” gak mungkin! Rasanya tulangku
sangat rapuh. Tapi Rendy tak mengerti. Dia terlihat sangat bahagia. Aku
menyerah.
“Makasih
ya Sya.”
Aku hanya bisa menganggukkan
kepalaku.
* * *
Hari-hari
telah berlalu. Rendy dan Rista semakin akrab, tak lebih juga karena bantuanku.
Dua hari lagi adalah ulang tahunku. Aku tak berniat mengadakan pesta. Aku hanya
ingin mengatakan parasaanku pada Rendy. Setelah aku merancang kata-kata yang
akan ku katakan pada Rendy, hari yang ku tunggu akhirnya datang juga. Tapi hari
inilah aku merasa sakit.
“Pagi
Sya, selamat ulang tahun ya Sya. Ini ada hadiah buat kamu. Aku harap kamu suka.
Dan aku punya satu kejutan buat kamu.”
“Apa
itu? Sebelum kamu kasih aku kejutan itu, aku ingin ngomong ma kamu Ren,” ucapku
lanjut.
“Aduh
Sya, aku ingin kamu tahu sekarang.”
Aku
mengalah, aku ikuti Rendy menuju kantin kampus. Aku lihat kampus sangat ramai.
Aku kehilangan Rendy, aku melihat ke semua sudut ruangan. Tiba-tiba…
Plok..
sebutir telur mendarat di kepalaku, aku senang ternyata itu adalah kejutan dari
Rendy bersama kue di tangannya. Setelah aku meniup lilin di kue itu aku
terheran mengapa semua terdiam. Aku melihat Rendy memegang tangan Rista. Dan…
“Sya,
aku punya kejutan lagi buat kamu.”
Rendy berbalik ke Rista.
“Rista, aku sayang kamu, apa kamu
mau mengisi hari-hari aku bersama Marsya?”
Darah mengalir begitu deras di
tubuhku, tulangku serasa remuk, aku tak berdaya. Aku melihat seorang yang aku
sayangi mengatakan bahwa dia menyayangi orang lain tanpa menghiraukan hatiku.
Sakit, perih. Aku ingin menangis. Tapi aku harus menahannya. Aku tak mau Rendy
bingung. Aku urungkan rencanaku untuk mengatakan semuanya.
Petir menyambar relung hatiku
saat aku mendengar Rista juga menyayangi Rendy. aku terpaksa mengukir senyum di
bibir ini.
“Ris, aku seneng kamu juga sayang
sama Rendy. Ren, selamat ya. Aku seneng dengan kejutan ini.”
Ya aku terkejut, tapi aku
berbohong. Aku ingin cepat pergi dari sini. Tapi itu tak mungkin. Aku melihat
semua teman-temanku senang dengan itu. Oh.. malangnya aku.
Akhirnya aku bisa pergi dari
hadapan dua insan yang sedang dilanda asmara itu.
Hari yang indah, menyakitkan!
Hatiku menangis. Kupandangi halaman rumahku dalam diam dan air mata.
Kring… telepon rumahku berbunyi.
Aku malas mengangkatnya. Telepon itu mati. Lalu bordering lagi. Aku pusing. Aku
angkat juga telepon itu.
“Hallo, dengan Marsya di sini.
Ini dengan siapa dan ada perlu apa?” ucapku malas.
“Sya, makasih ya berkat kamu aku
bisa dapatin Rista. aku seneng banget. Aku harap malam ini kamu datang di café
cinta aku ingin traktir kamu. Aku gak akan tanya kamu mau atau nggak. Aku gak
mau kecewa! Aku tunggu.”
“Tapi..”
Tut…tut…
Tak sempat aku menjawab telfon
itu sudah tak menyambung lagi. Aku semakin sedih. Tapi malam ini aku akan
datang. Aku gak mau orang yang aku sayang kecewa.
***
Malam hari di Café Cinta, aku
melihat Rendy duduk sendiri.
“Di mana Rista?” pikirku.
Aku senang karena tak ada Rista.
aku mendekati Rendy. Rendy langsung menyuruhku memesan makanan. Sejam telah
berlalu, tak banyak yang kami bicarakan. Sampai…
“Sya, aku seneng punya sahabat
seperti kamu. Rista, aku sangat menyayanginya. Makasih ya adikku!”
“Apa? Sayang? Aku harus bisa
menerima itu. Aku bukan apa-apa. Tapi, ‘adik’? Kenapa dia memanggilku adik?”
tanyaku dalam hati.
“Sya, mungkin kamu bingung kenapa
aku panggil kamu adik. Karena aku udah anggap kamu adikku.”
Hati ku hancur.
“Aku juga menganggap kamu kakak
aku. Ren aku ingin pulang.” Aku sengaja meminta pulang aku tak kuasa melihatnya.
Aku pulang di antar Rendy. Setelah sampai di rumah aku hanya mengucap
terimakasih sama Rendy tanpa mengajaknya mampir.
Setelah Rendy berlalu dari
hadapanku, aku langsung masuk dan mendengar ayah, mama membicarakan kepindahan
ayah ke Inggris.
“Ha… Inggris? Aku iku yah!”
ucapku langsung. Aku sengaja ingin ikut karena aku tak ingin ada lagi Rendy di
hatiku. Mungkin dengan aku pergi aku dapat melupakan cintaku.
Ayah dan mama menizinkanku untuk
ikut pindah. Aku dan keluarga akan pindah tiga hari lagi. Tiga hari cukup untuk
mengurus kepindahanku ke Inggris. Sudah dua hari aku selalu menghindar dari
Rendy, hingga hari terakhir sebelum aku berangkat. Dua jam sebelum berangkat
aku kembali mengecek barang-barangku. Aku teringat akan barang-barangku yang
aku tinggal di loker kampus. Aku pun meluncur ke kampus untuk mengambil barang
tersebut dan mengembalikan kunci loker kepada staf administrasi. Setelah urusan
ku selesai, aku segera pulang.
Tapi saat memasuki daerah parkir
motor, aku melihat Rendy, aku mempercepat langkahku. Tapi Rendy dengan sigap
mengejarku. Kali ini aku tak bisa mengelak. Aku terpaksa berhenti.
“Sya, kamu kemana aja? Kenapa
kamu menghindar dari aku? Dan kamu tiga hari ini gak pernah masuk kuliah, kamu
kemana?” cerca Rendy.
Aku tak menjawab.
“Sya. Kamu kenapa? Ayolah Sya,
aku gak mau kamu diam aja. Apa aku ada salah?”
Aku masih tak menjawab.
“Sya…!” rengek Rendy.
Aku tak tega melihat Rendy. tapi
aku gak boleh lemah. Ku lihat jam tanganku, menunjukkan jam 13.00 WIB. Aku
harus bergegas.
“Ren, maafkan aku. Aku harus
pergi. Aku sayang kamu kak.” Aku menaiki motorku dan meluncur, aku merasa ada
yang terjatuh, tapi tak ku hiraukan. Ku lirik Rendy dari kaca spion, Randy
berdiri bingung, lalu menunduk mengambil secarik kertas. Aku tak tau apa itu.
***
Sekarang aku berada di bandara.
Kulihat handphoneku, tertera nama Rendy memanggil. Aku tak ingin menggores luka
di hatiku lagi. Entah berapa kali Rendy mencoba meneleponku. Aku non-aktifkan
handphoneku, karena aku sekarang sudah di dalam pesawat menuju Inggris. Ada
kesedihan yang dalam saat aku meninggalkan Indonesia, tapi aku harus bisa.
Delapan jam telah berlalu. Aku
turun dari pesawat. Tepatnya sepuluh jam perjalanan aku sudah sampai di rumah
baruku. Baru lima menit aku mengaktifkan handphoneku, Randy menelepon lagi. Ku
angkat.
“Hallo Sya?, Sya kamu tega meninggalkan
aku tanpa pamit. Kamu jahat Sya. Kenapa kamu nggak pernah bilang tentang
perasaan kamu? Kenapa Sya? Kenapa justru secarik kertas yang memberi tahuku?”
Aku tak menjawab. Tak terasa air
mataku jatuh lagi.
“Sya, maafkan aku yang gak pernah
mengerti perasaan kamu. Maafkan aku! Andai kamu kembali! Sya…!”
Aku mendengar Rendy menangis. Aku
tak sanggup.
“Ren, aku tak mau di cintai
karena kasihan. Maafkan aku meninggalkanmu. Kita sahabat, sampai kapanpun
sahabat. Bahagialah bersamanya.”
Tut… tut…
Telepon itu ku putus. Aku
menangis, aku tak kuasa mendengar kesedihannya. Sejak itu aku tak lagi
mengaktifkan handphoneku.
Malam ini tepat jam 02.45. aku
belum terlelap. Ku bongkar koperku, ku ambil diary cintaku, kubuka, tinggal
satu lembar lagi kertas kosong. Kutulis kesedihan, kerinduanku, dan cintaku
pada Rendy. hingga kututup diary itu, kututup hati ku, cintaku, dengan air mata
dan sebuah kalimat menutup kisahku. Dalam diary sang bulan:
Ku sadar harus kututup cinta dan
hati ini, dan aku ingin terlepas dan tak ingin lagi terjebak dalam kisah
cerita, kisah hidup, dalam cinta yang tak berujung dengan torehan tinta hitam
ku tulis, takkan ada lagi judul cerita dalam hidupku “Cintaku Untukmu, tapi
Untuk dia Cintamu”.
Casino at Mohegan Sun - Jetblue Vacations
BalasHapusJTM 군포 출장마사지 announced Friday that Mohegan Sun is opening 이천 출장마사지 its first resort in the region 충청남도 출장마사지 to bring gaming to Connecticut, welcoming 동두천 출장안마 guests with 공주 출장안마 a $50